FILOSOFI SEMAR (TOKOH WAYANG SEMAR)
FILOSOFI SEMAR (TOKOH WAYANG SEMAR)Semua pasti bertanya tanya, masak semar tokoh wayang yang nampak aneh dan berwujud tak sempurna memiliki filosofi sendiri?, jawabannya YA ! tokoh tokoh yang ada dalam pewayangan tidak semata dibuat karena hanya faktor ingin akan tetapi melebihi dari itu semua telah melalui segala pertimbangan dan pemikiran dengan tujuan menjadaikan pembelajaran.
Kali ini saya mau posting mengenai filosofi wayang semar, ini dia :
Semar merupakan nama tokoh punakawan atau abdi paling utama
dalam pewayangan. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat
para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Karena
merupakan tokoh asli ciptaan pujangga Jawa, maka tentu saja kita tidak akan
menemukan nama Semar dalam naskah asli Mahabharata ataupun Ramayana yang
berbahasa Sansekerta.
Dalam lakon wayang kulit sebenarnya ada tokoh punakawan yang
lain yang merupakan “anak-anak” dari Semar, yaitu Gareng, Petruk dan Bagong.
Menurut salah satu literatur disebutkan bahwa sesungguhnya Gareng, Petruk dan
Bagong bukanlah anak kandung Semar. Gareng sebenarnya adalah putra seorang
pendeta yang dikutuk dan Semarlah yang telah berhasil membebaskan kutukan itu.
Petruk sendiri sebenarnya adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sedangkan
Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa, leluhur
para Pandawa. Namun demikian hanya tokoh Semar saja yang selalu hadir di setiap
lakon apapun. Baik itu dalam pewayangan Jawa Tengah, pewayangan Sunda, ataupun
pewayangan Jawa Timuran. Sementara ketiga punakawan yang lain belum tentu ada.
Artinya tokoh Semar dianggap sebagai figur sentral dalam
setiap pementasan wayang kulit karena merupakan sang penyampai pesan. Tentu
saja gaya penyampaian pesan ala Semar tidaklah seserius tokoh wayang yang lain
karena pada dasarnya Semar seringkali berbicara sambil bercanda. Nah, disinilah
letak menariknya tokoh Semar bagi saya. Serius, tapi juga santai. Dengan cara
“sersan” inilah mungkin diharapkan pesan moral lewat tokoh Semar, lebih mudah
diterima dan dicerna oleh setiap penikmat pertunjukan wayang kulit.
Dalam kisah Mahabharata, Semar ditampilkan sebagai abdi atau
pengasuh dari para Pandawa yang merupakan keturunan Resi Manumanasa. Sementara
dalam kisah Ramayana, Semar juga ditampilkan sebagai abdi atau pengasuh Sri
Rama dan Sugriwa. Sehingga boleh dikata tokoh Semar akan selalu muncul dalam
setiap pementasan wayang kulit, tidak peduli apapun judul yang sedang
dikisahkan. Dalam hal ini Semar tidak hanya berperan sebagai abdi atau pengikut
saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang
tegang.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin
meningkat lagi. Semar dikisahkan bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan
merupakan penjelmaan dari Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru yang sekaligus
juga merupakan raja para dewa. Memang ada beberapa versi tentang asal-usul dari
tokoh Semar ini. Namun semua pada dasarnya menyebut bahwa tokoh ini merupakan
penjelmaan dari dewa. Semar juga merupakan lurah yang berdomisili di Karangdempel.
Karang berarti gersang. Sedangkan dempel berarti keteguhan jiwa.
Kalau kita perhatikan, betapa banyak filosofi dari tokoh
Semar ini yang sangat mengagumkan. Dalam filosofi Jawa, Semar disebut dengan
Badranaya. Berasal dari kata bebadra yang artinya membangun sarana dari dasar
dan naya atau nayaka yang berarti utusan. Maksudnya mengemban sifat membangun
dan melaksanakan perintah Allah demi
kesejahteraan manusia. Secara Javanologi, Semar berarti haseming
samar-samar. Sedangkan secara harafiah, Semar berarti sang penuntun makna
kehidupan.
Secara fisik, Semar tidak laki-laki dan bukan pula
perempuan. Ia berkelamin laki-laki, tetapi memiliki payudara seperti perempuan,
yang merupakan simbol dari pria dan wanita. Tangan kanan Semar ke atas,
maknanya bahwa sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbol Sang Maha
Tunggal. Sedang tangan kirinya ke belakang, bermakna berserah total dan mutlak
serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik.
Semar berambut “kuncung” seperti anak-anak. Maknanya hendak
mengatakan bahwa akuning sang kuncung, yaitu sebagai kepribadian pelayan. Semar
sebagai pelayan melayani umat tanpa pamrih untuk melaksanakan ibadah amaliah
sesuai dengan perintah Allah. Ketika barjalan, Semar selalu menghadap keatas.
Maknanya adalah dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan
teladan agar selalu memandang ke atas atau Tuhan Yang Maha Pengasih serta
Penyayang umat.
Selain itu Semar juga selalu mengenakan kain jarik motif Parangkusumorojo, yang merupakan perwujudan
Dewonggowantah atau untuk menuntun manusia agar memayuhayuning bawono, yaitu
menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri fisik Semar yang sangat unik lainnya adalah bentuk
tubuhnya yang bulat. Ini merupakan simbol dari bumi atau jagad raya, tempat
tinggal umat manusia dan makhluk lainnya. Semar juga tampak selalu tersenyum,
tapi matanya sembab. Ini menggambarkan simbol suka dan duka. Wajahnya tampak
tua, tapi rambutnya berkuncung seperti anak kecil. Ini merupakan simbol tua dan
muda. Ia merupakan penjelmaan dewa, tetapi hidup sebagai rakyat jelata. Ini
merupakan simbol dari atasan dan bawahan.
Bagi saya Semar mempunyai banyak keistimewaan. Selain
ciri-ciri fisik, keistimewaan Semar yang lain adalah tentang statusnya.
Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya disejajarkan dengan
Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Menurut versi aslinya, penasehat pihak
Pandawa dalam perang Baratayuda adalah Kresna. Akan tetapi dalam pewayangan,
penasehat Pandawa menjadi dua yaitu Kresna dan Semar.
Sering dikisahkan bahwa senjata Semar adalah kentut. Konon
kentut Semar ini bisa membuat pusing para punggawa keraton yang tidak
menjalankan tugasnya sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan kata lain ada saja
pejabat keraton yang melakukan tindakan melawan hukum yang merugikan
masyarakat.
Sebagai penjelmaan dewa, Semar dikenal juga sangat arif dan
bijaksana. Bisa bergaul dengan siapa
saja, baik dengan kalangan atas maupun
kalangan bawah. Selain itu juga tanggap terhadap perubahan jaman. Akan tetapi
jika menemukan ketidakadilan dan tindakan sewenang-wenang, maka Semar akan
dengan tegas melakukan tindakan
preventif, persuasif dan represif. Bisa dikatakan kalau Semar ini rela
mempertaruhkan segalanya demi amanat yang diterimanya dari Sang Maha Kuasa.
Bila kita cermati ucapan Semar setiap kali mengawali dialog
: “mbergegeg, ugeg-ugeg, hmel-hmel, sak dulito, langgeng…” Yang artinya diam,
bergerak atau berusaha, makan, walaupun sedikit, abadi. Maksudnya dari ucapan Semar
itu kira-kira begini, daripada diam (mbergegeg) lebih baik berusaha untuk lepas
(ugeg-ugeg) dan mencari makan (hmel-hmel) walaupun hasilnya sedikit (sak
ndulit) tapi akan terasa abadi (langgeng). Benar-benar sebuah pesan moral yang
sangat dalam agar kita selalu bekerja keras untuk mencari nafkah, walaupun
hasilnya hanya cukup untuk makan, namun kepuasan yang didapat karena berusaha
tersebut akan abadi.
Semar seolah-olah tidak pernah mengenal kata sedih. Bila
berbicaranya selalu spontan, tetapi mengandung kebenaran. Setiap bertutur
selalu menghibur sehingga orang yang sedih menjadi gembira. Orang yang sedang
susah bisa tertawa. Itulah sosok Semar yang selalu tumakninah, mengawal
kebenaran dan hati nurani para Pandawa sebagai representasi tokoh dunia putih.
Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus
dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah, yang disimbolkan sebagai kaum
kesatria asuhan Semar, mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara
Tuhan, maka bisa dipastikan negara yang dipimpinnya akan menjadi nagara yang
unggul dan sentosa.
0 komentar :